Aturan Ayah
Terinspirasi dari
kehidupan: Ratna Eka Wati
“Tungguin
aku ya, aku ngambil motor dulu”teriak ratna pada teman-temannya yang sudah
menunggu. Siang itu Ratna, Rahmat, dan Fella akan belajar kelompok di rumah
Hidayah. Hal ini sering mereka lakukan menjelang ada ulangan tengah/akhir
semester. Jam menunjukkan pukul sebelas siang saat mereka tiba di rumah
Hidayah. Segera mereka bergegas membuka buku dan mengeluarkan alat tulis.
Ujian
besok adalah sejarah dan agama, jadi banyak hafalan yang harus mereka ingat.
“Tritura itu apa ya?” ucap Rahmat yang
memulai percakapan. Dengan sigap Fella menjawab tiga tuntutan rakyat. Diskusi
ini sangat hidup karena terkadang disertai dengan guyonan dari Fella dan juga
Rahmat.
“Nih,
nih, jangan terlalu serius,dimakan ya, seadanya aja nih, hehe”keluar pipit dari
dapur sambil membawa bebrapa cemilan dan juga minuman segar. Cemilan dan
minuman yang baru saja disuguhkan langsung diserbu oleh tiga orang itu kecuali
Ratna.
Semenjak
tiba di rumah Hidayah yang biasa dipanggil Pipit itu, Ratna terus memegangi
handphone biru nya sampai lupa bahwa ia sekarang sedang belajar kelompok.
“Ngapain
sih na, HP terus dari tadi nih minum dulu”pinta Pipit pada Ratna. Tak tau apa
yang sedang di pikirkan oleh Ratna tapi ia dari tadi hanya termenung bahkan
ajakan Pipit hanya dijawabnya dengan sebuah senyuman kecil. Tak ada yang tau
bahwa ia belum meminta ijin pada orangtuanya. Ia ragu meminta ijin karena
ayahnya itu sangat ketat dalam jam pulang sekolah, ditambah lagi dalam suasana
ujian seperti ini, harusnya ia segera pulang.
Pukul
setengah satu siang, hati Ratna bertambah gundah, ia semakin bingung apa yang
harus dikatakannya nanti pada orangtuanya apalagi sang ayah. Ayah Ratna memang
sangat disiplin namun kedisiplinannya itu yang terkadang membuat Ratna semakin
merasa terkekang. Banyak aturan yang harus ia laksanakan sebagai anak perempuan
tertua. Maklum dikeluarganya tidak anak laki-laki sehingga membuat ayahnya
semakin protektif.
Mencoba
menjernihkan pikirannya, Ratna mengambil jatah minuman yang sudah disediakan
Hidayah. “Kamu gak papa kan na?” khawatir Fella pada temannya itu.
“Sebenarnya
aku belum minta ijin pada Ayahku, aku takut nanti ayah marah karena aku pulang
terlambat’’kata Ratna dengan wajah yang lusuh. “ Ayahku selalu saja mencoba
mengaturku, padahal aku ini kan sudah SMA, aku tau kok mana yang benar dan mana
yang salah. Apa perlu anak SMA seperti aku ini ditelfon berkali-kali setiap aku
pergi. Ayahku gak pernah bisa percaya sma anaknya, dia Cuma memikirkan apa yang
kelihatan pantas dan tidak pantas dimatanya. Aku bingung.”
Sejenak
suasana hening, Fella, Hidayah, dan Rahmat saling bertatapan mereka seperti
tersambar petir disiang hari yang terik. Tatapan mereka mengisyaratkan bahwa
mereka ikut sedih atas apa yang dialami Ratna, tetapi mereka juga tidak tau
harus bagaimana karena masalah ini sepertinya sudah menyangkut perasaan anak
dan ayah.
Tiba-tiba
saja keheningan itu dipecah oleh suara HP Ratna yang berdering terus menerus.
Namun setiap kali HP nya bunyi Ratna selalu mematikan panggilan itu. Semua yang
diruangan itu seakan tau siapa yang menelepon.
“Ayahmu
ya na?tanya Rahmat. Dengan gaya bicaranya yang menirukan Mario Teguh, ia mulai
menasehati Ratna, “ Diangkat saja na, jangan takut, kamu kan pulan terlambat
karena belajar kelompok bukan untuk hal-hal yang aneh-anehkan. Atau kamu mau
pulang sekarang saja biar nanti Fella aku yang antarkan pulang. Kamu gak usah
sedih gitu. Kita semua ngerti kok apa yang kamu rasakan.”
“Iya
na, apa kamu mau kita bicara dengan ayahmu supaya tidak salah paham lagi.
Gimana ? Dan ayahmu itu mungkin hanya
khawatir sama kamu, itu tandanya ayahmu peduli dan sayang sama kamu. Kamu gak
boleh berpikiran negatif dulu tentang ayah mu ya na.”sahut Fella.
Belum
sempat Ratna menanggapi teman-temannya dengan sedikit terkejut ia mengangkat telepon yang tiba-tiba saja
berbunyi. Kali ini diberanikannya untuk berbicara dengan ayahnya karena ia tahu
kalau sampai telepon ini tidak diangkatnya maka akan membuat ayahnya semakin
marah dan menjadi-jadi.
Tak
terasa air mata mengalir dari sudut matanya. Ratna menjawab telepon ayahnya itu
dengan suara parau dan terbata-bata. Batinnya seperti teriris mendengar
kata-kata sang ayah. Kalu di telepon saja sudah sebegini marahnya bagaimana
kalau nanti di rumah. Terbayang-bayang wajah sang ayah yang sedang dikuasai
oleh amarah.
“iya
Ratna pulang sekarang kok yah. Lagi pula Ratna hanya belajar kelompok sama
Rahmat dan Fella di rumah Pipit.” Kata Ratna dengan air mata yang berlinang.
Ia
langsung berpamitan pada ketiga temannya. Ia juga meminta maaf karena belajar
kelompok hari ini agak kacau karena dia. Tak berapa lama ia membereskan segala
peralatannya, Ratna langsung tancap gas dengan supra x miliknya. Motornya ia
pacu dengan kecepatan tinggi, terpikir olehnya apa yang akan ia sampaikan pada
ayahnya nanti setiba dirumah.
Sang
ayah sudah menggu sedari tadi rupanya. Ia menyuruh Ratna lekas masuk ke dalam
rumah. Tatapan matanya yang dingin membuat Ratna hanya menjawab perintah itu
dengan anggukan rendah.
“Dari
mana kamu? Kamu tau tidak ini jam berapa? Harusnya kan kamu sampai dari tadi
jam setengah sebelas. Tapi sekarang sudah jam 3 kamu baru sampai rumah. Kamu
kan besok masih ada UTS, apa kamu tu nggak mikir! Lihat saja adikmu itu,dia
tidak pernah pulang terlambat. Dan selalu patuh pada ayah dan ibu, tapi kamu
mentang-mentang sudah besar jadi ngelunjak.”bentak ayahnya.
Harapan
Ratna pada sang Ibu supaya dapat membelanya ternyata sia-sia belaka. Walaupun
ibunya tidak berkata sepatah kata pun namun tatapan matanya seakan mengiyakan segala
perkataan sang ayah yang sangat menyakitkan hatinya itu. Sang ibu juga seakan
berpikir bahwa dirinya mulai tumbuh menjadi anak yang tak tau aturan, padahal
ia tak pernah melakukan apapun yang kelewat batas. Hanya sang adik terus yang
dibangga-banggakan oleh ayah dan ibu membuat rasa kecewa Ratna semakin besar
saja.
Dengan
perasaan yang sudah tidak bisa terbendung lagi Ratna berbicara dengan
lantangnya, “Aku ini sudah besar pak, aku bisa berpikir kok mana yang salah dan
mana yang baik. Adik itu kan masih SMP pantaslah kalau dia masih belum sibuk
seprti aku. Sepulang sekolah aku langsung belajar kelompok karena besok mata
pelajaran UTS yang diujikan aku belum paham betul. Ayah terlalu kaku dengan aturan-aturan yang ayah
buat sendiri.”
Semua
ucapan Ratna itu hanya terdengar seperti ocehan anak SD yang menghindar dari kesalahannya.
Sang ayah tetap teguh pada pendiriannya, Ia bahkan memberikan hukuman untuk
tidak memakai motor lagi ke sekolah.
Mendengar
ucapan sang ayah yang menurut Ratna mengecewakan, Ia masuk ke dalam kamar
sembari berlari dan menutup pintu kamar dengan bantingan yang keras.
Begitu
sakit rasanya punya orangtua yang punya aturan-aturan berlebihan. Aturan itu
memang penting tapi kalu menerapkannya salah itu justru malah jadi petaka.
Seperti ayahnya yang sudah terlalu sayang pada aturan-aturan itu. Apa tidak ada
kebebasan untuk anaknya yang sudah dewasa ini? Apa sebegitu parahkan
tindakannya ini sehingga membuat sang ayah tidak mempercayainya lagi. Begitu
susahkan untuk memperlakukan anaknya dengan aturan yang sesuai.
Langit-langit
rumah menjadi awang-awang nya saat ini. Kepala yang mulai pusing memikirkan
sang ayah dengan aturannya yang seperti adik kakak dan juga rasa bersalah pada
teman-teman karena telah mengacaukan belajar kelompok hari ini. Terlebih lagi
Fella, ia sudah berjanji untuk mengantarkan Fella pulang namun terpaksa harus
digantikan oleh Rahmat.
“Ah,
prinsip ayah pada aturan-aturannya itu sungguh terlalu. Apa dulu nenek dan
kakek memperlakukan ayah seperti ini? Hingga sekarang ayah menrapkannya pada
ku. Orinsip masing-masing orang itu memang berbeda. Tapi apa separah ini
perbedaan ayah dan anak.” Pikir Ratna yang merenung menata perasaanya lagi.
Waktu
menunjukkan pukul empat, suara kicauan burung kutilang di depan rumah menemani
keheningan sore itu. Entah apa yang sedang dilakukan sang ayah dan yang lain,
tak maulah Ratna terus meratapi nasib jeleknya ini. Kelehan batin dan jiwa hari
ini sudah cukup untuk mengantarkannya tidur terlelap sampai adzan magrib
berkumandang.